[Cerbung] Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang Baik Hati

Cerita Ibu Aminah

Jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Zubair, anak laki-laki berusia sebelas tahun, sedang merapikan kasurnya. Di ruang sebelah, ibu dan kelima adiknya sedang bersiap cerita.

“Ibu mau cerita apa malam ini?” tanya Syahidah, adik Zubair. Usianya sembilan tahun.

Bu Aminah berbaring di tengah kasur. “Ibu akan bercerita tentang kebaikan hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Zubair datang dan bergabung bersama adik-adiknya. Mereka siap mendengarkan cerita. Ini adalah waktu yang selalu mereka tunggu.

“Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, ada seorang Yahudi yang selalu mengejek beliau. Yahudi itu buta matanya. Setiap kali ada orang yang membicarakan tentang dakwah dan kebaikan hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia akan menyangkal dan menjelek-jelekkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Laki-laki tersebut sudah tidak memiliki sanak saudara yang memperhatikannya. Sehari-hari, ia tinggal di pasar, mengharapkan belas kasihan dari orang-orang yang melihatnya.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui sikap Yahudi tersebut, beliau tidak marah. Bahkan merasa kasihan. Setiap hari, beliau datang membawa makanan dan menyuapi laki-laki itu.

Begitulah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan setiap hari sampai beliau wafat. Tidak ada yang mengetahui hal itu kecuali sahabat beliau, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu.

 

Setelah Rasulullah Wafat

 

Tatkala Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu diangkat menjadi khalifah, beliau mendatangi laki-laki itu. Kira-kira, apa yang akan beliau lakukan?” tanya Bu Aminah memberi jeda pada ceritanya.

“Memarahinya?” Zubair menebak.

“Mau memberitahu kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah wafat?” tebak Syahidah.

“Enggak, Nak. Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ingin meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau membawa makanan ke sana. Dengan berurai air mata, beliau menyuapi laki-laki tersebut. Tiba-tiba, tangan beliau dipegangnya erat-erat. Ia menolak disuapi tangan yang terasa asing.

“Engkau bukan laki-laki yang biasa menyuapiku,” kata Yahudi itu murka. Selama ini, ia memang tidak bisa melihat wajah orang yang biasa menyuapinya, tetapi ia bisa mengenali tangannya. “Orang yang biasa menyuapiku, lembut tangannya. Ia memasukkan makanan dengan pelan-pelan.”

Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tak kuasa lagi menahan tangisnya. “Ketahuilah, orang yang biasa menyuapimu telah wafat.”

Di dunia ini, memang tidak ada yang bisa menyamai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau yang lembut, penyayang, dan selalu peduli. Ingatan Khalifah kembali membayangkan saat-saat beliau masih hidup.

Laki-laki itu terkejut. Bukankah yang baru saja meninggal adalah Muhammad? Bagaimana mungkin orang yang selama ini dia ejek, malah menyuapinya setiap hari?

“Apakah yang menyuapiku Muhammad”? Laki-laki itu bertanya.

“Ya, benar. Muhammadlah yang telah menyuapimu selama ini,” jawab Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu.

Laki-laki tersebut menangis terharu. Ia tidak menyangka, betapa baiknya orang yang selama ini ia jelek-jelekkan. Akhirnya, dengan penuh rasa kagum kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersyahadat. Asyhadu allaa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasuulullah.”

 

Pelajaran Hari Ini

 

Bu Aminah mengakhiri ceritanya. “Pelajaran apa yang kalian dapatkan hari ini?”

Zubair dan adik-adiknya terdiam. Mereka terharu mendengar cerita ibunya.

“Kita harus selalu berbuat baik pada semua orang.” Zubair memberi kesimpulan.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam enggak mudah sakit hati,” Syahidah menjawab.

“Aku sayang Rasulullah,” ucap Ramlah, adik Zubair yang baru berusia empat tahun.

 

Editor : Nonz Ati

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *