[Cerbung] Tiwi Dicubit Dewa Bukit

 

“Jadi … mereka ke mana? Di mana? Kok, ketawa, sih?!” tanya Tiwi yang sedikit kesal melihat reaksi Difi.

“Itu namanya kecebong, Tiwi. Memang mirip ikan, tapi itu adalah bayi katak. Mungkin mereka sedang bersembunyi di bawah rumput atau pasir yang ada di situ,” jelas Difi.

“Ooh, kukira semua mati karena terlalu banyak kuberi makan,” ucap Tiwi lega.

“Semoga saja tidak. Kalau terlalu banyak makan, mereka juga bisa mati.”

“Wah, benar, kah?” Tiwi terkejut dan merasa bersalah.

Difi tersenyum dan merangkul pundak Tiwi. “Tidak apa, Tiwi. Setahuku bayi katak di sini hanya doyan akar rumput dan serangga kecil. Aku akan mengenalkanmu pada mereka, nanti.”

[Cerbung] Tiwi Mencari Teman

 

Lalu Difi mengajak Tiwi ke kebun mengambil beberapa sayur dan buah untuk makan sore. Difi bercerita bagaimana ia mendapat bibit sayur dan buah dari Peri Flora. Hanya kurcaci yang memiliki niat baik merawat bumi akan mendapat hadiah terbaik pula selama hidupnya.

Tiwi masih heran melihat Difi berhasil mengubah gaya hidupnya yang kini lebih dekat dengan alam. Berbeda jauh dengan kehidupan Difi dahulu sewaktu di Kota Kurcaci.

“Aku sudah pernah merasakan fasilitas serba modern. Namun, setelah menyadari ada perilaku yang merusak kelestarian bumi, aku pun berhenti dan pindah ke bukit ini,” tutur Difi.

“Sepertinya dulu hidupmu selalu baik-baik saja, Difi. Kau juga baik dengan siapa pun.”

“Kelihatannya begitu, ya? Padahal aku sering merasa tidak sehat sejak Kota Kurcaci menjadi metropolitan. Rasanya badanku sudah banyak terkena polusi udara.”



 

Tiwi paham, pekerjaan Difi sewaktu di kota memang berat. Ia dipercaya sebagai sopir transportasi darat yang selalu tepat waktu dan mengangkut penumpang dengan kereta beroda banyak. Sekarang petugas kemudi digantikan oleh robot sebagai pengendali mesin kereta.

Setelah mengumpulkan buah dan sayur, Tiwi dan Difi mengolahnya menjadi makanan utama. Difi menyarankan agar mengisi perut sebelum gelap datang. Malam menjadi waktu khusus bagi Difi untuk berdoa dan istirahat.

“Kubantu membuang sisa batang sayur dan kulit buah ini, ya,” tukas Tiwi.

“Eh, iya … tapi ….”

Belum sempat Difi melanjutkan ucapannya, sampah dapur itu sudah dilempar Tiwi ke ember yang berisi botol plastik bekas.

“Aduh!”

Seketika Tiwi merasa ada yang mencubit tangannya. Ia meringis kesakitan dan menoleh pada Difi.

“Dewa Bukit menegurmu. Membuangnya bukan di situ,” ujar Difi dengan raut wajah sedih.

“Wah, iya, kah?” tanya Tiwi.

***

Menurutmu sampah yang dibawa Tiwi harus dibuang ke mana, ya, teman?

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *