[Cerpen] Aku Pinjam Dulu Ponsel Ini
“Hhh… Nilaiku lagi-lagi tidak memuaskan,” ujar Sandi dalam hati.
“Ini pasti gara-gara aku terlalu banyak main ponsel,” gumam Sandi. “Mau bagaimana lagi? Sulit sekali melepaskan benda ajaib tersebut.”
“Ada apa, Sandi?” Gigih sahabatnya mendekat.
Sandi tidak menjawab. Dia hanya memandangi kertas ulangan yang sudah diremas-remas sejak tadi. Gigih pun mengerti.
“Kamu tidak belajar sama sekali?” Gigih berkata sambil mengiringi langkah Sandi untuk pulang.
Mereka pulang bersama berjalan kaki.
“Entahlah, Gigih! Sebenarnya aku mau sekali belajar, tetapi selalu lupa. Aku terlalu asyik main game hingga tidak terasa sudah waktunya tidur.” Sandi menjawab dengan lesu.
“Harusnya kamu bisa mengatur waktu dengan baik.” Gigih menasihati, tetapi Sandi menggelengkan kepala.
Sandi diam saja. Gigih pun akhirnya ikut terdiam. Dia memikirkan cara untuk menolong sahabatnya.
“Hmm … Bagaimana kalau nanti sore aku ke rumahmu? Sudah jarang sekali kita bermain bersama. Yah, sejak pandemi Covid-19,” ujar Gigih ketika rumah mereka berdua yang berdekatan sudah terlihat dari kejauhan.
“Wah, kamu malah mengajak aku bermain. Makin payah, deh! Lebih baik main ponsel saja!”
Gigih tersenyum, “Tentu saja tidak! Aku akan membantu menyelesaikan kesulitanmu kali ini.”
“Baiklah.” Sandi mengangguk ragu.


Aku Pinjam Dulu Ponsel Ini

Setelah salat asar, Gigih sudah ada di depan rumah Sandi.
Sandi baru selesai menelepon ibunya yang sudah mulai work from office (WFO).
“Assalamualaikum …” Gigih menyapa.
“Waalaikumsalam …. Masuklah!” ujar Sandi.
“Aku pinjam ponselmu, ya.”
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Sandi heran.
“Aku ingin membantumu. Mulai hari ini sampai sepuluh hari ke depan aku akan berkunjung ke rumahmu setiap sore. Nah, aku akan belajar di sini. Ponselmu aku pinjam dan masukkan dalam tas dulu,” ujar Gigih.
“Lalu, apa yang harus aku lakukan?” Sandi masih bingung.
“Terserah kamu. Yang penting tidak menonton televisi dan keluar rumah.”
“Tetapi..”
“Tidak perlu khawatir, aku hanya di sini selama satu jam. Setelah itu, ponsel akan aku kembalikan.”
Setelah berkata itu, Gigih sibuk dengan bukunya. Dia tidak menghiraukan Sandi yang berada di sebelahnya.
Lima belas menit pertama, Sandi hanya menggaruk kepala tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Selanjutnya, dia tiba-tiba ingat ada beberapa tugas sekolah yang belum dikerjakan. Akhirnya, dia berdiri mengambil buku dan mulai mengerjakan PR.
Sandi sebenarnya anak pandai. Prestasinya bagus. Jadi, tugas sekolah mudah sekali diselesaikan. Namun, sejak pandemi Covid-19, dia banyak mengisi waktu dengan ponsel hingga sulit melepaskan diri dari kebiasaan tersebut.
Setelah sejam berlalu, Gigih bersiap pulang. Ponsel Sandi diletakkannya di atas meja.
“Aku pulang, ya, Sandi! Assalamualaikum ….”
“Waalaikumsalam ….”

Sepuluh Hari Bersama Gigih

Hari kedua, Sandi menyembunyikan ponselnya. Namun, Gigih tidak membiarkan dirinya membuka benda tersebut. Akhirnya, Sandi ikut duduk di samping Gigih, tanpa ponsel.
Hari ketiga, Sandi menutup pintunya rapat. Dia tidak menghiraukan temannya yang mengetuk pintu dengan keras. Tetangga yang mendengar keributan datang dan menelepon ibu.
Sandi tidak enak hati. Akhirnya, dia membuka pintu dan mempersilakan Gigih masuk. Dia tidak bisa marah pada sahabatnya. Gigih selalu ada saat dia membutuhkan pertolongan.
Setelah peristiwa ketukan pintu yang keras, Sandi benar-benar menyerah dan membiarkan Gigih datang setiap hari.
Baru berjalan satu minggu, dia menyadari banyak perubahan dalam dirinya. Tugas-tugas sekolah berhasil diselesaikan dengan baik. Dia juga secara tidak langsung belajar setiap hari.
Apa lagi yang bisa dilakukannya saat Gigih bertamu? Dia tidak pernah membiarkan Sandi melihat ponsel. Gigih akan langsung merebut benda tersebut dan memasukkannya ke dalam tas selama satu jam.
Dalam hal ini, gerakan Gigih memang lebih cekatan dibanding Sandi. Apalagi tindakannya sudah mendapat dari izin ibu.
“Kamu boleh datang terus ke rumahku sampai aku benar-benar bisa membagi waktu,” ujar Sandi pendek ketika Gigih pulang pada hari kesepuluh.
“Benarkah?”
“Iya.” Sandi mengangguk, “Terima kasih telah menjadi sahabat terbaikku.”

1 comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *