[Cerpen] Fian Ikhlas, Ayah

Permintaan Sepatu Baru

Tuk … Tuk … Tuk…
Fian masih saja mengetuk-ngetuk meja. Wajahnya cemberut. Dia kesal karena permintaan dibelikan sepatu baru tidak dituruti Ayah dan Bunda.
“Bunda, aku mau sepatu baru. Itu sepatu sudah lama. Aku tidak mau memakainya,” rajuk Fian.
Bunda yang melihatnya hanya tersenyum. Keinginan Fian sudah Bunda ceritakan pada Ayah. Memang sepatu Fian yang sekarang hadiah dari Ayah dua tahun yang lalu, tetapi warna dan jahitannya masih bagus.

“Apa sepatunya sudah mulai sempit, Nak?” tanya Bunda.
“Belum Bunda. Tapi Fian ingin seperti teman-teman, beli sepatu baru,” jawab Fian masih dengan wajah cemberutnya.
” Fian tidak boleh iri, ya. Di luar sana masih ada anak-anak yang belum beruntung. Bersekolah tidak memakai sepatu. Bunda mau tanya, apa Fian punya tabungan?” Bunda kembali bertanya.
“Punya, Bunda. Uang saku dari Bunda, sebagian aku tabung” jelas Fian.
“Alhamdulillah. Bagus, Sayang. Teruskan kebiasaan baik itu, ya,” lanjut Bunda.
Fian hanya mengangguk.

[Cerpen] Bela

 

Ajakan Ayah

 

“Fian, ditunggu Ayah di depan. Mau diajak jalan-jalan” kata Bunda.
“Iya, Bunda,” jawab Fian sambil berjalan ke luar rumah.
“Ini sekalian di bawa, ya,” Bunda menyodorkan bingkisan besar pada Fian.
Sebenarnya Fian penasaran isinya. Tapi karena masih merajuk, dia mengurungkan bertanya dan memilih langsung menemui Ayahnya.
“Eh, jagoan Ayah sudah siap. Salim dulu sama Bunda, Nak!” perintah Ayah.
Fian pun langsung mencium punggung tangan Bunda. Kemudian berangkat bersama Ayah menggunakan motor.

Kunjungan ke Rumah Daffa

Ayah menghentikan motor di depan sebuah rumah yang hanya berdinding anyaman bambu. Atapnya juga sudah mulai tidak seimbang. Bisa Fian bayangkan, kalau hujan pasti bocor di mana-mana.
“Assalamualaikum.” ucap Ayah.
“Waalaikumusalam.” Tak berselang lama, seorang anak laki-laki muncul. Dia langsung menyalami Ayah dan Fian.
“Sendirian, Daffa?” tanya Ayah.
“Iya Om, Bapak masih kerja” jawab Daffa.
“Ini untuk kamu dan Bapak, ya,” Ayah meminta Fian menyerahkan bingkisan yang dibawa tadi.
“Terimakasih,” ucap Daffa sambil tersenyum.
“Iya, sama-sama,” jawab Fian
“Kami pamit dulu, ya. Salam buat Bapak. Assalamualaikum.” Ayah dan Fian langsung berjalan ke tempat motor terparkir.
“Iya Om, insyaallah nanti Daffa sampaikan. Waalaikumusalam,” sahut Daffa.
Fian menoleh ke arah Daffa. Dilihatnya Daffa yang tidak berhenti tersenyum dan bibirnya seakan mengucapkan kata syukur berkali-kali.



 

Fian Ikhlas, Yah.

Dalam perjalanan, Fian membuka obrolan dengan Ayahnya. Rasa penasaran tentang Daffa dan Bapaknya tidak bisa disembunyikan lagi.
“Daffa, anak piatu, Nak. Ibunya meninggal setahun yang lalu. Bapaknya kerja sebagai kuli bangunan,” jelas Ayah.
“Setiap hari, Daffa pergi sekolah dengan berjalan kaki. Dia sangat bersemangat. Cita-citanya ingin jadi dokter katanya. Tapi kata dia, yang penting dia ingin jadi anak saleh. Agar doa yang dia panjatkan bisa menjadi penerang untuk ibunya,” lanjut Ayah.
Dalam hati, Fian sangat tersentuh dengan cerita Ayah tadi.
“Ayah, Fian punya tabungan. Tadi Fian liat sepatu Daffa sudah bolong. Fian mau membelikan Daffa sepatu. Boleh, Yah?” usul Fian.
“Boleh, dong, Jagoan,” jawab Ayah.
“Fian, apa kamu beneran mau beliin Daffa sepatu? Kan Fian sendiri juga pengin,” selidik Ayah.
“Iya, Yah. Insyaallah. Fian ikhlas,” jawab Fian yakin.
Ada rasa bahagia yang menyeruak di hati Fian.

Editor: Purwani Wijayanti

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *