[Cerpen] Mencari Matahari

Laras meringkuk di pojok ruangan, segukan sisa tangisnya masih terdengar. Hatinya tersayat dan tak dapat menerima kenyataan jika mataharinya telah pergi. Bunda yang selalu tersenyum cantik bagai matahari pagi telah pergi untuk selamanya. Penyakit kanker telah merenggut bunda. Laras merasa kecewa, jika saja ia tahu bahwa bunda menderita kanker, tentu ia akan lebih perhatian, lebih sayang dan lebih baik pada bunda. Mengapa bunda menyembunykan semuanya? Laras membatin.

Laras merasa sendiri, ayah sibuk mengurus pemakaman bunda. Anak berusia 10 tahun itu sangat berduka. Ia bahkan tidak mau keluar kamar saat bunda akan diantar ke peristirahatan terakhirnya. Laras hanya ingin kenangan terakhirnya tentang bunda adalah saat ia tersenyum pagi itu. Bunda yang selalu tersenyum dan sabar menghadapi tingkahnya yang kadang nakal. Tuhan…mengapa kau renggut bunda dari aku, lirih Laras sebelum akhirnya ia terlelap.

*****
Waktu berlalu, tak terasa tiga bulan sudah sejak kepergian bunda. Laras menjalani hari dengan murung. Tidak ada lagi canda tawanya. Ayah berusaha keras agar selalu ada untuk Laras. Ayah menyiapkan sarapan, mengantar jemput sekolah dan menemani Laras bermain. Semua yang biasa dilakukan Bunda, sekarang dilakukan oleh Ayah. Namun semua tidak sama bagi Laras. Ia menjadi menjadi semakin pendiam dan murung.

Pagi itu Laras bangun dengan rasa malas. Lama ia tetap berbaring dan tidak berniat bangun Dilihatnya jam telah menunjukan pukul 6, biasanya bunda sudah membangunkannya dengan pelukan dan ciuman. Beberapa bulan ini ayah yang membangunkannya dengan serangan klitikan. Tapi….pagi ini tidak seorang pun membangunkannya.
Berlahan Laras bangkit dan menuju kamar mandi. Bagaimana pun ia harus berangkat ke sekolah. Setelah rapi dengan seragam sekolahnya, Laras menuju ruang makan.

Aroma nasi goreng kesukaannya menyeruak. Laras kenal aroma ini, seperti nasi goreng buatan bunda. Bergegas ia menuju sumber bau. Sepi, tidak ada siapa pun, hanya ada nasi goreng kesukaannya di meja makan. Aneh, kemana ayah? batin Laras.
“E… anak Bunda sudah rapi,” bunda keluar dari arah dapur. Laras terhenyak.
“Bunda…” lirih Laras. Matanya tidak lepas menatap Bunda, tak percaya.
“Kenapa sayang,” Bunda membelai rambut Laras, “ayo dihabiskan makannya, kesukaan kamu loh.”

Laras memeluk Bunda erat, tangisnya pecah. Semua rindu ia tumpahkan. Bunda membelai Laras dengan penuh kasih.
“Laras, cantiknya bunda, kenapa sayang?” lembut suara bunda di telinga Laras.
“Aku kangen Bunda.” isak Laras.
“Bunda juga kangen Laras,” dikecupnya kening Laras, “tapi kamu harus kuat sayang. Harus iklas dan terus melangkah maju.”
“Laras ngga mau,”
“Laras, sayang…dengarkan Bunda ya. Semua yang hidup akan mati, dan yang ditinggalkan harus mau terus berjalan melanjutkan hidup. Laras ngga mau kan lihat Bunda sedih karena Laras terus menerus bersedih. Kasihan Ayah loh. Ayah juga sedih dan Ayah jadi lebih sedih lagi karena Laras terus murung.” Bunda mengeratkan genggaman tangannya ke Laras.

“Tapi Laras kangen Bunda.” rengek Laras.
“Laras sayang kan dengan Ayah?” dibalas angukan Laras.
“Kalau Laras sayang Ayah, sayang Bunda, maka Laras kembali ceria seperti dulu, kembali jadi Laras yang cerewet dan pintar.” senyum Bunda mengembang.
“Kasihan Ayah, harus melewati semua sendiri. Temani Ayah ya, saling menguatkan dan menyayangi.” tambah Bunda.
Laras mengangguk, ia memeluk Bunda.
“Aku sayang Bunda,” isaknya.
“Bunda juga sayang sekali sama Laras.”

Bunda melepaskan pelukannya dan tersenyum. Pandangan Laras mengabur, air matanya menghalangi pandangan.
“Bunda” Laras terbangun dengan air mata. Diedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ia sadar jika ternyata ini hanya mimpi. Semua terasa sangat nyata.
Tok…tok…tok.. pintu terbuka dan Ayah masuk dengan senyumnya. Laras segera berlari ke arah Ayah dan memeluknya.
“Laras kenapa?” Ayah bingung melihat putrinya menangis di pagi hari.
“Maafkan Laras Ayah,” isaknya, “Laras sayang Ayah.”

Ayah tersenyum, ia tahu, putrinya telah kembali. Melihat senyum Ayah yang tulus, Laras tersadar, jika selama ini ia memiliki dua matahari. Ia tahu, kini paginya akan seindah sebelumnya, bersama dengan matahari pagi yang diberikan oleh senyum Ayah. Matahari yang selama ini ia cari ternyata ada di dekatnya. Rasa sayang Ayah akan membuat Laras kuat menghadapi hari-harinya. Senyum Laras pun mengembang.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *