[Cerbung] Tiwi Pindah Rumah

 

Tiwi, si kurcaci berambut ikal, memutuskan pindah tempat tinggal ke bukit. Ia mengikuti temannya, Difi, yang lebih dulu memiliki kehidupan jauh dari keramaian kota.

Jalan menuju bukit sedikit sulit. Untunglah, sungai Kalisat yang mengelilingi bukit, airnya sangat dangkal. Namun, Tiwi terpeleset berkali-kali ketika melewati jalan yang menanjak dan berbatu karena kaki Tiwi masih basah setelah menyeberang sungai.

“Apakah masih jauh?”

“Tidak, Tiwi. Sedikit lagi kita sampai,” jawab Difi.

Hampir lima kali Tiwi mengulang pertanyaannya setiap kali terpeleset. Jawaban dari Difi pun tetap sama.

“Bersabarlah. Sebentar lagi kita sampai.”

Ketika Tiwi ingin menyerah, suara Difi mengejutkannya.

“Sudah sampai.”

Tiwi memandang sekitarnya dengan rasa heran. “Di mana rumahmu? Mengapa hanya pohon dan rerumputan yang terlihat di mana-mana?”

“Rumahku ada di balik pohon besar itu.”

Tiwi terpukau melihat rumah kecil dan sederhana yang terbuat dari kayu. Difi pun menceritakan rumah peninggalan kakeknya tersebut, juga bagaimana cara mencari dan membuat makanan di lingkungan hutan yang jauh dari pemukiman penduduk.

“Wah, hebat sekali kau bisa bertahan hidup di sini!” puji Tiwi.

“Awalnya aku juga takut, tapi lama-lama terbiasa,” jawab Difi.

Tiwi mengangguk paham. Pantas saja, sudah lama Difi tidak berkunjung ke rumahnya di kota. Rupanya, Difi sibuk berlatih hidup mandiri. Berbeda jauh dari Difi yang dulu pernah terkenal, hidup dengan fasilitas serba mewah, lengkap, dan instan.

Semua yang pernah dimiliki Difi disumbangkan pada kaum kurcaci miskin. Kini, isi rumah Difi hanya berupa barang yang serba sederhana dan dibuatnya sendiri dari bahan-bahan hutan sekitarnya.

“Besok, akan kuajari kau membuat rumah. Sekarang beristirahatlah dulu,” ucap Difi seraya menyajikan buah-buahan dan minuman rempah hangat.

Tiwi tertidur setelah mengisi perutnya. Ia terbangun kembali ketika hari mulai gelap.

“Wah, kepalaku pusing, nih!”

“Kau terbiasa tidur dengan bantal empuk dan bertumpuk, ya, Tiwi?”

Tiwi mengangguk seraya memijat lehernya dengan tangan kanan. Bantal tidur milik Difi berukuran kecil seperti bantal sofa. Di dalamnya ada yang berisi kain perca atau kapuk, bukan berisi kapas atau bulu lembut seperti yang tersedia di kota.

“Sepertinya aku juga harus berlatih hidup lebih sederhana sepertimu, Difi. Eh, ngomong-ngomong di sini ada sinyal, enggak, ya?”

Difi tertawa melihat Tiwi yang mengotak-atik telepon selulernya. Dengan pipi yang bersemu merah karena malu, Tiwi menyadari pertanyaannya.

Hmm, kira-kira apa jawaban Difi?

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *