Siti Muti’ah, Wanita Pertama yang Masuk Surga
Suatu hari, Fatimah Az Zahra, putri Rasulullah Muhammad Shallallhu Alaihi Wassallam bertanya kepada ayahandanya.
“Ya, Ayah, siapakah wanita pertama yang masuk ke surga?” tanya Fatimah.
“Dia adalah seorang wanita yang bernama Muti’ah,” jawab Rasul.
Fatimah terkejut ternyata bukan dirinya yang pertama masuk surga padahal dia adalah putri dari seorang Rasul tapi justru orang lain. Dia membayangkan kelak akan menjadi perempuan pertama penghuni surganya Allah.
Fatimah pun penasaran dengan apa yang dikatakan ayahandanya, dan ingin mengetahui secara langsung siapakah Muti’ah tersebut. Dia ingin mengetahui amalan apakah yang menyebabkan Muti’ah mendapatkan kehormatan yang begitu tinggi menjadi wanita pertama penghuni surga.
Fatimah pergi menemui Muti’ah bersama Hasan putranya, setelah terlebih dahulu meminta izin kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib.
Sesampainya di rumah Muti’ah, Fatimah mengetuk pintu seraya mengucapkan salam.
Muti’ah menanyakan siapakah gerangan yang berada di luar dan mengetuk pintunya. Ia terkejut saat mengetahui bahwa tamu yang mendatangi rumahnya adalah Fatimah putri dari Rasulullah.
Sebelum membukakan pintu, dia bertanya apakah Fatimah datang seorang diri. Fatimah mengatakan bahwa dia datang bersama Hasan, putranya. Namun, Muti’ah tidak mengijinkan masuk, karena belum meminta izin kepada suaminya akan kedatangan tamu laki-laki walau masih kecil.


Akhirnya Fatimah pulang meski belum bertemu dengan Muti’ah. Keesokan harinya, Fatimah datang lagi dan membawa Hasan juga Husein. Muti’ah kembali bertanya dengan siapa dia datang. Mendengar jawaban Fatimah, dengan berat hati dia tidak mengizinkan putri Rasul itu masuk karena belum meminta izin suami atas kedatangan Fatimah yang membawa kedua putranya.
Fatimah kembali pulang dan belum bisa berjumpa dengan Muti’ah. Barulah keesokan harinya, ketika Fatimah kembali datang bersama kedua putranya, dia bisa bertemu dengan perempuan mulia itu.
“Fatimah, silakan masuk, tapi maaf, ya, kalau saya nanti mondar-mandir karena harus menyiapkan makan siang untuk suamiku dan tak bisa menemanimu duduk,” ujar Muti’ah.
“Silakan saja, saya senang berada disini,” jawab Fatimah.
Rumah Muti’ah sungguh rapi dan sederhana, namun harum wangi semerbak. Hasan dan Husein yang biasanya tak betah jika bermain pun, terlihat gembira bermain di rumah Muti’ah.
Di meja makan, Fatimah melihat sapu tangan dan kipas.
“Muti’ah untuk apakah sapu tangan dan kipas tersebut?” tanya Fatimah.
“Sapu tangan itu, aku pakai untuk mengelap peluh keringat suamiku karena dia pasti lelah setelah bekerja, setelah keringatnya kering aku mengipasinya,” jawab Muti’ah dengan malu-malu.
Fatimah pulang dan dalam hatinya membenarkan ucapan ayahandanya tentang Muti’ah. Pantaslah Muti’ah mendapatkan anugerah itu karena dia seorang wanita yang sangat setia dan taat kepada suaminya.
Subhanallah Allahu Akbar.
Editor: Indah Taufanny

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *