[Cerpen] Jujur itu Berani

Oleh: Haryati Hs.

Hari itu Bu Guru memberikan ulangan Bahasa Indonesia. Semua siswa diminta mengerjakan soal dengan tenang sehingga suasana kelas menjadi hening. Hanya sesekali terdengar gemeresik kertas yang dibolak-balik oleh para siswa.

Rani yang duduk di depan, dekat meja guru, dengan serius mengerjakan soal ulangan. Kira-kira lima belas menit sebelum waktu habis, ia sudah dapat menjawab soal-soal yang diberikan.

Merasa sudah memeriksa semua jawabannya, Rani pun mengisi waktu dengan bermain kertas yang ia remas-remas membentuk gumpalan kecil. Tiba-tiba, gumpalan kertas yang dimainkan Rani terpental dan mengenai wajah Bu Guru.

Bu Guru ‘mengaduh’, kemudian mengedarkan pandangan ke arah para siswa.

“Siapa yang melempar Ibu dengan ini?” tanyanya, menunjukkan segumpal kecil kertas di tangannya.

Suasana kelas menjadi cukup ramai. Akan tetapi, tidak ada satu pun yang mengaku melempar Bu Guru.

“Barangkali Eko, Bu,” celetuk salah seorang siswa dan disusul ujaran setuju oleh yang lain.

Bu Guru bangun dari duduknya, lalu berjalan mendekati Eko, siswa yang terkenal suka usil di kelas.
“Apa Eko yang melemparkan kertas ini ke Ibu?” tanya Bu Guru.

Eko yang duduk pada baris ketiga di samping Rani menggeleng cepat.
“Bukan Eko, Bu,” sangkalnya dengan dua jari membentuk huruf V.

Ketika Bu Guru akan kembali bicara, Rani dengan suara sedikit bergetar berkata, “Sa … saya, Bu. Saya tidak sengaja.”
Sontak Bu Guru terkesima. Begitu pula teman-temannya.

“Selesai mengerjakan soal, Rani memainkan kertas itu di jari, tapi ternyata kertas itu terpental ke wajah Ibu,” jelas siswa kelas 5 SD itu, kemudian ia pun meminta maaf.

Bu Guru memaklumi perbuatan Rani, siswa terpandai dan tersopan di kelas itu. Beliau malah memuji karena Rani berani mengakui perbuatannya. Jika Rani tidak mengaku, Bu Guru dan Teman-temannya tidak akan menduga jika ia pelakunya.

Pada jam istirahat, Eko menghampiri Rani dan bertanya, “Kenapa Rani mengaku? Padahal Bu Guru dan Teman-teman tidak ada yang tau, kan?”

Rani tersenyum malu, kemudian menjawab, “Awalnya Rani bimbang, mau mengaku atau tidak. Rani malu ketahuan bermain ketika sedang ulangan. Terus, pas Bu Guru nyalahin kamu, Rani merasa berdosa, deh. Rani ingat pesan Ayah dan Ibu,” jelas Rani panjang lebar.

“Memangnya apa pesan ayah dan ibumu?” tanya Eko penuh minat.

“Kita harus jujur, apa pun akibatnya. Maka dari itu, kita harus berhati-hati dalam bersikap,” jelas Rani lagi.

“Betul itu,” kata Bu Guru yang ternyata sudah berada di dekat mereka. “Rani berani berkata jujur. Itu tindakan yang berani. Ibu menghargainya,” puji Bu Guru kemudian.

“Kalau Eko yang melakukan itu, pasti Eko kena marah,” ujar Eko sambil tertawa lebar.

“Makanya, Eko jangan suka mengusili teman-teman lagi, dong. Jadi, teman-teman enggak akan langsung mencurigai Eko,” kata Rani, mengingatkan.

Bu Guru meng-iya-kan kata-kata Rani, sedangkan Eko hanya menyeringai sambil menggaruk-garuk rambutnya.

“Kalau Eko berani jujur seperti Rani dan meminta maaf, Ibu pasti juga akan memaafkan Eko. Kalian semua kan anak-anak Ibu di sekolah ini,” ujar Bu Guru, tersenyum ramah.

“Iya, Bu Guru. Insyaallah Eko akan menjadi anak yang jujur seperti Rani,” ucap Eko sambil mengacungkan dua jempol ke arah Rani.

Editor: Purwani Wijayanti

#joeraganartikel
#eventcernak
#Day2

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *