[ Cerpen ] Tetangga yang Sombong

Sombong Banget Tetangga Barukuku Ini

Namanya Budi. Ia sudah SMP, sehingga nampaknya enggan bermain dengan anak kecil sepertiku yang masih kelas 1 SD. Apalagi temannya banyak. Kadang mereka memanggil-manggil dari tepi jalan, dengan suara kompak, “Budi… Budi….”

Biasanya Budi segera keluar, membawa sepedanya, lalu melancong entah ke mana bersama mereka. Tapi kadang-kadang Budi keluar rumah membawa bola dan sepatu, lalu bersama kawan-kawannya ia berjalan menjauh sambil tertawa-tawa. Ke lapangan bola, agaknya. Tiap pagi ada saja beberapa anak yang mampir sejenak di rumah itu, lalu berangkat sekolah bersama Budi.

Budi dan keluarganya tinggal persis di depan rumahku. Ada jalan kecil yang memisahkan rumah kami. Sesekali aku melihat ada ayah dan ibunya. Ayahnya ikut membantu mengangkat beberapa barang ketika kami pindah ke rumah ini pekan lalu, lalu bercakap sebentar dengan ayahku. Kurasa Budi anak tunggal, karena belum pernah kulihat ada anak lain di rumah itu, selain teman Budi yang kerap datang.



 

Aku anak tunggal juga. Sejak tinggal di sini Ibuku sangat mudah cemas sehingga aku tidak boleh ke mana-mana kecuali bersama Ibu atau Ayah. Sekolah pun aku ditunggui. Padahal jaraknya hanya dua blok dari rumah. Belum banyak orang yang kami kenal di sekitar ini. Mungkin itu juga sebabnya Ibu tidak melepasku untuk bermain keluar rumah. Jadi, ketika luang, aku senang duduk membaca di teras sambil sesekali mengamati Budi dan kawan-kawannya. Tapi ia tak sekali pun pernah menoleh padaku, apalagi menyapa.

Kunjungan Budi Tetangga yang Kukira Sombong

Suatu sore, ada yang mengetuk pintu rumah kami dan terdengar memberi salam.
“Wa alaikumussalam,” jawabku.
Aku segera membuka pintu. Dan, seperti mimpi, kulihat Budi tersenyum di depan pintu sambil memegang mangkuk besar.
“Ada Ibu? Ini dari ibuku. Bu Darma. Rumah kami di seberang,” jelasnya.

Bergegas kupanggil Ibu di belakang. Ibu nampak sangat gembira menyambut Budi. Ia mengambil mangkuk di tangan Budi dan memintanya menunggu.
Tak lama Ibu kembali dari dapur sambil membawa mangkuk tadi yang kini terisi 3 buah jeruk.
“Sampaikan salam dan terima kasih untuk Ibumu, ya.” Ibu tersenyum dan menepuk bahu Budi.

“Eh, sudah kenalan, belum? Ini anak Ibu namanya Soleh. Baru kelas 1. Soleh, ini Budi yang rumahnya di seberang. Hm, panggil Kak Budi aja deh.” Ibu memperkenalkan kami.

“Halo, Soleh. Mau main ke rumahku? Aku punya akuarium. Kamu mau lihat-lihat ikan?” katanya ramah.

Aku menatap Ibu dengan ragu. “Boleh, Bu?”
“Boleh, tapi jangan lama-lama,” katanya.

Tentu saja aku senang bukan kepalang. Segera kupakai sandal dan mengikuti Budi.
“Sebelum magrib pulang, ya,” tambah Ibu lagi sebelum aku jauh.

[ Cerpen ] Indahnya Berbagi

 

Di rumah Budi aku diajak melihat-lihat dan memberi makan ikan-ikan milik Budi. Ia memperkenalkan nama-nama ikan hias miliknya. Ternyata selain warnanya yang berbeda-beda, ikan-ikan itu beragam juga sifatnya. Sungguh mengasyikkan mengamatinya. Kata Budi, pengetahuan tentang ikan itu didapatnya dari membaca buku dan internet.

“Kak Budi, maaf ya, aku sempat mengira Kak Budi sombong. Tapi sekarang aku tahu mengapa Kak Budi banyak temannya. Berkawan dengan Kak Budi ternyata menyenangkan,” kataku malu-malu.

Editor : Nonz Ati

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *