[Cerpen] Bela

Oleh : Atiek Dewi

Namanya Bela, aku berkenalan dengan dia ketika mengikuti lomba menggambar di sebuah mal.
Umur Bela dan umurku sama 10 tahun. Kami sama-sama duduk di kelas empat, berbeda sekolah, ya. Aku bersekolah di Sekolah Dasar Negeri, sedangkan Bela bersekolah di Sekolah Luar Biasa. Ya, itu sebuah sekolah untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus.

Aku tidak mengira kalau Bela adalah seorang anak yang spesial. Karena dari penampilannya Bela tampak biasa saja. Bela sangat cantik, memakai jilbab warna pink, dengan gamis warna senada. Tinggi Bela hampir sama dengan tinggi aku. Sekilas memang tidak ada yang percaya kalau Bela anak yang spesial.
Ketika berkenalan itulah baru tampak kalau Bela berbeda, dari suaranya Bela sangat kesulitan mengucapkan kata-kata. Untuk memperkenalkan diri aku harus mendengarkan dengan sungguh-sungguh kata-kata Bela agar paham.

Hari ini aku bertemu lagi dengan Bela, di pesta ulang tahun Salsa, putri Tante Vivi. Kebetulan Tante Vivi teman Tante Rina, Mama Bela. Acaranya diadakan di Angkringan Cak Ipoel, milik Tante Vivi sendiri.
“Hai Bela! Ketemu lagi, nih.” aku menyapa Bela dan duduk disebelahnya.
Bela melambai, tersenyum, dan mulutnya berusaha berkata, “Hai!”.
Seperti biasa Bela selalu rapi dan cantik. Sore ini, Bela memakai gamis berwarna putih dangan bunga mawar merah di pinggirannya. Hijab merah menutupi rambutnya, cantik sekali.

Aku ingin mengajaknya bercakap-cakap, tapi cerita apa, ya? Aku juga khawatir Bela tersinggung karena dia sulit mengeluarkan kata-kata. Tidak disangka-sangka Bela menepuk pundakku
“Hesti! Kita lihat acara potong kue, yuk?” Bela berkata padaku dengan terbata-bata.
“Ayo” Kataku dengan semangat.
Kami pun setengah berlari masuk ke dalam ruangan. Di dalam ruangan acara baru saja dimulai, kue tar sudah siap di tengah ruangan, diletakkan di atas meja kecil lengkap dengan lilin berbentuk angka 10. Semua teman Salsa telah memenuhi ruangan.
Bela menggandeng tanganku untuk melihat lebih dekat.
“Kita lihat Salsa tiup lilin, ya. “ ajak Bela menarik bajuku.
Bela sangat tertarik dengan acara tiup lilin. Matanya berbinar-binar sangat gembira memperhatikan acara tiup lilin, Bela juga tampak antusias bertepuk tangan.

Ketika acara tiup lilin usai dan berganti dengan acara makan, Bela mengajakku keluar dari ruangan, gerah katanya.
“Aku tidak bisa tiup lilin,” Bela berkata padaku dengan terbata-bata dan wajah yang sedih.
Aku tidak paham kata-katanya, namun agar Bela tidak kecewa aku tersenyum.
“Bela pintar, pasti bisa,” kataku dengan mengacungkan ibu jari. Bela hanya tersenyum kecil.

Setiba di rumah aku menceritakan kejadian tadi pada ibu, dan bertanya apa maksud perkataan Bela tadi.
“Bela sejak kecil terkena apraksia, yaitu kesulitan bicara karena adanya gangguan pada syaraf otak untuk berkoordinasi dengan otot yang digunakan untuk berbicara ataupun meniup.”
Ibu menjelaskan kepadaku tentang kelainan yang dialami Bela.
“Kasihan Bela, ya bu. Anaknya cantik dan baik.” kataku sambil membayangkan wajah cantik Bela.
Ibu mengusap rambutku,”Syukurilah hidupmu walaupun rezeki yang kita terima hanya sedikit dibandingkan orang lain.”
“Ih, ibu nyindir, ya. Karena aku sering ngambek nggak mau makan.” jawabku.
Dan kami pun tertawa bersama-sama.

Editor : Nonz Ati

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *