Dering Telepon di saat Hujan

Sebuah Cerpen Remaja

Oleh : E Latifah Y

Dinda menghela nafas. Radio Teen-do tengah menyiarkan live “caring for sharing.” Kebaperannya sore tadi, ingin ditumpahkan segera, seperti bom yang siap  meledakan sebuah gedung dan tak menyisakan puing sama sekali. Pasti lega rasanya. Tapi pada siapa?  Seseorang disekolah, akhir-akhir ini menyita fikirannya. Menguasai perasaannya.

“ Halo gaess, pendengar setia Teen-do, radionya remaja yang selalu berkarya tapi tak lupa berdoa, lagi pada  ngaapain ? Nih malam  dingin buanget gaess, langit menangis sedari sore, risau memikirkan bumi. Lo yang kehujanan usahlah gundah, jarangkan lo, bisa kuyup kayak sekarang?

Saat lo menerjang hujan saat ini , buatlah koneksi dengan langit panjatkan doa terbaik. Ah,  apa sih yang bisa dilakuin? Selain bersyukur dan bersabar? Yups! dua hal super duper keren buat modal hidup, bener nggak? So yang masih baper bin  galau  kemoon  merapat, ungkapin rasa lo di sini, bareng gue Savina Dewanti.

Gue jamin deh lo bakal plong molongpong kayak jalan tol  kalo curhat di radio kesayangan lo ini. Yups, gue tunggu lo disini sekarang! Jangan kebanyakan mikir ya, spontanize its honest”

Kudekatkan corong mike yang bertahta tepat di depan mulutku dengan semangat empat lima. Waktu nunjukin jam lima sore lebih duapuluh tujuh menit.

Kata mas Boyang seniorku di radio ini, suaraku berat, mirip suara Tata, personil duo Dewi yang sudah bubar itu. Hangat dan ceria. Nyerocos memang salah satu keahlianku saat siaran. Bisa berjam jam aku berbusa, monolog 3 babak dengan durasi  tiga jam dengan santai bisa aku jabanain  tanpa keabisan ide.

Berbeda seratus delapanpuluh derajat kalau tak siaran, apalagi saat di dalam kelas. Aku hanya seorang murid  yang irit kata dan sering tertidur saat pelajaran.#Eh.. Kenapa ya? Aku juga nggak tau, mungkin kelas dan pelajaran terlalu mengungkungku. Bosan.

Satu lagu dari Tulus “1000 Tahun  Lamanya” meluncur mulus.

 “Halo, radio Teen-do lo siapa nih, dimana?” .

“ Gue Nita di Depok.” Dinda menyamarkan namanya.

“Okay Nita, mainkan cerita lo”

“Dev, gue kayaknya fallin in love sama orang terlarang.” 

***

Aku bergegas  ke kelas. Tak kuhiraukan saat si Kuncung Cimplung ganteng bin kalem itu memanggilku berkali-kali. Obrolan di radio tadi malam mem-fix-kan firasatku. Ah, kekasihku Barra Muhammad Fadil Kuncung Cimplungku telah beralih. Sakitnya mulai berbentuk.

Tak sangka remuk redamnya begitu bertubi. Selama ini aku  mendengarkan para galauwer curhat di radio tempatku siaran. Tadi malam, akulah korban..

“Lo, harus akui kalau lo suka sama  Dinda.” Pulang sekolah ku tarik Barra ke kantin.

“Nggak.” Barra menatapku .

“ Oke, tapi dia tuh  ngarep banget dan lo ngasih harapan. Gue  liat lo betulin brosnya yang lepas dari hijabnya, lo nge prank dia. Lo asyik ngobrol sama dia.” Aku ingin sekali terisak.

“ Asal lo tau ya, tadi malam, dia nyebut lo ‘the choosen man’ yang mau mutusin pacarnya, as soon as possible.” Tetiba aku sesak, rasanya seperti ketiban berpuluh batu bata. Kali pertama aku mengutuk diriku sebagai penyiar. Mendengarkan curhat seseorang yang menyukai pacarku sendiri. Arrrghhh…

“Dia tau, kalo tadi malem itu gue yang on air?” Aku menyelidik.

“Nggak, Dinda nggak tau kalo lo penyiar. Suerr! Tapi gue harus akuin, lo jauh sekarang Kri. Gue butuh temen ngobrol.” Barra menunduk.

“ Fine. Kita end.” Tanpa airmata. Air mataku terlalu berharga untuk seorang lelaki kayak Barra.

***

Tiga minggu berlalu. Sakit terhianati menyisakan perih. Tapi ujian akhir semester tetap saja berlaku, nggak peduli lagi patah hati atau happy, Aku berusaha move on. I’m a standing man. Kalimat sakti untuk Tom Hanks difilmnya yang berjudul “ Bridge of Spies”.

Menjelang pembagian raport ada kegiatan mabit di sekolah. Acara di mulai setelah solat ashar. Aku tergopoh. Setelah lapor ke panitia aku bergabung dengan yang lain. Beuh, Dinda ada di sana bersama Silvi sobatnya, Si Ratu Komen. Ah, rasanya tak tahan.  Godaan untuk segera hengkang mengetuk-ngetuk  kepalaku.

Menunggu Risma bagai menanti patung budha terbangun dari semedinya. Saat mengendap-ngendap  saat itulah Kando  sang Ketua Rohis memergokiku.

“Mau kemana Kri.”  Katanya sambil tersenyum penuh wibawa.

“Menghindar dari Dinda ya?” Dia menyelidik.

Ah, ngga.., gue mau cari Risma.” Berharap aku terlihat tenang .

Kando memberi isyarat agar mendekat. Bagai terhipno Romel Rafael aku menghampirinya. Kami duduk berseberangan. Malu rasanya berhadapan dengan orang se alim dia tanpa hijab di rambutku. Baru kusadari temen sebangku si Kemplung Cimplung enak dipandang dan menenangkan siapapun yang ada di dekatnya. Pantas  peserta mabit kali ini penuh sesak oleh jenisku.

“ Hadirlah di sini dengan niat yang lurus.” Ujarnya.

“ Gue doain lo Kri, semoga kita bisa melakukan banyak hal ke depannya. Lo masih siaran di Teen-do?”  Teg! Dug! Tetiba jantungku berdegup tanpa harmoni. Apa maksudnya melakukan banyak hal ke depan? Kita udah mau kelas duabelas. Mau duet siaran? Mau dakwah di radio gue? Aah,  tak berani kutanyakan. Gimana kalo lo jadi pacar gue aja Ndo? Aiissh.. ngarepnya aku. Hanya angin semilir yang membuatku sedikit tenang, padahal darahku mendidih, tapi bukan karena marah.

“Lho kok bengong? Gue tau lo siaran dari Barra. Dia sering banget nyeritain lo. Heran deh kalian bisa putus.”

“Oh ya, gue pernah nelepon saat lo siaran. Gue, pake nama Dilan.”Ssplaashh.. ” Copot deh jantungku.

***

Pas tengah malam, aku mulai resah. Ceramah dan diskusi selepas isya tadi sedikit mengubah cara fikirku tentang hijab. Kami hanya tidur sekitar tiga jam lalu dikumpulkan di lapangan basket. Aku melihat Kando bercakap dengan beberapa temannya, oh ada Barra. Ah, sekelebat rindu juga padanya. Kando melihatku begitu juga Barra. Aku tersipu. Di lihat dua lelaki keren  siapa yang bisa wajar.

Tiba-tiba seluruh penerangan mati. Semua peserta duduk beralas tanah, menunduk. Terdengar langkah-langkah kaki yang diseret. Setelah itu hening.

Hanya berteman angin malam dan tangan yang saling menggenggam. Aku berzikir. Menerka-nerka apa yang akan terjadi. Samar terdengar  seseorang membaca ayat suci Al-Quran dengan suara yang tenang tapi sangat menawan. Ah, aku  jadi  melow dan merindu. Suara yang tak asing buatku. Selanjutnya, kami peserta Mabit hanya bisa terisak isak, ingat ayah, rindu ibu, mengingat maksiat, dan tambah terisak saat seseorang menceritakan sakitnya sakaratul maut.

 ***

Esoknya, saat pulang, aku dan Risma berjalan santai. Walau raga ini  meronta kecapaian, tapi kegiatan tadi malam harus ku akui memang penuh kesan. Risma sobat cantikku itu masih menyisakan semangat bercerita tentang kegiatan semalam.

“Gile ya, si Barra ternyata, jago tilawah juga, udah mah  pentolan basket, wakil ketua OSIS, cakep tinggi, emang  gak nyesel lo, Kri?”  Risma menyenggol bahuku.

“Udah gitu si Kando pulak, pidatonya menyentuh banget, natural tapi kharismatik. Tadi lo merhatiin gak Kri? Bubar acara tuh cewek-cewek kelas sepuluh berkerumun minta selfih, berubah deh acara syahdu jadi ajang insta story.“

“ Bukan cewek, Ris… tapi para akhwat.” Aku pilih sebutan yang pas untuk para perempuan muslim. Gak tau kenapa aku mendadak santun berbahasa. Tetiba terpkir juga untuk mengundang Kando saat aku siaran. Menyebarluaskan kegiatan mabit ini  bisa menginspirasi. Ah,, baru kemarin dia ngomong kerjasama.

***

Sisa capek belum terbayar dengan tidur nyenyak tanpa gangguan, tapi malam ini aku harus siaran. Kuseret kakiku menuju ruangan empat kali empat meter tempat aku menjadi aku yang lain. Di luar, hujan lebat berkejaran dengan angin. Omongan Risma masih terngiang-ngiang, kok bisa melepas Barra tanpa usaha mempertahankan? Wallohualam bishawab. Lagi-lagi aku jadi santun.

Tiba-tiba ada telepon masuk.

“Hallo Radio Teen-do dengan siapa nih?”

“Assalamualaikum, gue Dilan. Boleh gue berbagi disini?”  Teg! Dug! .

“ Hai Dilan, lo pernah mampir ke sini ya? Okey apa yang mau lo share?”

“Sebenernya ini curhat sohib gue yang baru  putus. Ternyata dia nyesel banget. Dia minta pendapat gue gimana caranya bisa balik lagi. Tapiiii,,, ini nih yang gue ngga ngerti . Kenapa ya, gue gak rela? Gue suka sama mantannya, cuma gak bisa nyatain perasaan ini,  gue gak bisa pacaran. Apa yang… ” 

Mendadak otakku jadi hang berat, nggak bisa nyimak nggak bisa fokus. Kata-kata Dilan alias Kando samar ku dengar. Darahku mendidih, tapi bukan marah. Satu kalimat lagi Kando ngomong aku bisa pingsan.

***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *