Siapa yang Paling Disayang Umi?
“Ayo tebak, siapa yang paling disayang Umi?” Kak Ahmad yang baru saja keluar kamar bertanya kepada kedua adik kembarnya.
“Aku, Nisa, atau Maryam?”
Nisa dan Maryam yang baru saja menyelesaikan tugas sekolah berpikir sejenak.
“Tentu saja, aku.” Nisa dan Maryam menjawab hampir bersamaan.
“Eh tunggu dulu. Kenapa Umi paling sayang dengan kamu, Nisa? Maryam?” Kak Ahmad bertanya lagi.
“Hmm … Aku anak Umi yang paling pintar. Prestasiku banyak,” ujar Nisa percaya diri.
“Huh .. Kamu mana mungkin disayang Umi? Salat Subuh saja malas. Susah sekali dibangunkan,” ujar Maryam.
“Ah, tetap saja Umi paling sayang dengan aku. Banyak orang memuji karena aku berprestasi. Ummi pasti bangga.” Nisa menepuk dadanya.
“Kamu sombong. Namun tetap saja, Ummi dan Abi lebih sayang kepada anak yang saleh seperti aku,” ujar Maryam tenang.
Nisa tidak setuju dengan perkataan Maryam. Akhirnya dua anak kembar tersebut berdebat dengan suara nyaring.
Sementara, Umi yang tadi pamit ke warung belum kembali.
Kak Ahmad yang usianya hanya berjarak 2 tahun hanya melihat perdebatan kedua adiknya dengan santai.
“Kalian kenapa ribut, sih? Bagaimana pun, aku yang paling disayang. Aku anak nomor satu dan laki-laki. Sejak kalian belum lahir, Umi sudah sayang aku. Yah, wajar, kan, kalau aku paling disayang?”
Nisa dan Maryam saling berpandangan dan melotot mendengar perkataan Kak Ahmad.
Kesayangan Umi
“Assalamu’alaikum!” Umi tiba-tiba masuk.
Ketiganya terdiam. Umi melihat ada yang tidak beres di antara ketiga anaknya.
“Kenapa, sayang?” Dipandanginya mereka satu per satu.
“Umi …. “ Maryam berkata ragu-ragu. “Siapakah di antara kami yang paling disayang Umi?”
Mata Ummi membulat dan tersenyum.
“Aku bukan, Umi? Aku paling pintar dan mempunyai banyak prestasi,” kata Nisa bangga.
“Aku ya, Umi. Anak pertama Umi dan Abi,” ujar Kak Ahmad tidak mau kalah.
“Hmm. Dengarkan.” Umi berucap sambil membawa sepiring kue kesukaan anak-anaknya. “Umi sayang semuanya. Kalian anak-anak Umi.”
“Aku kan lebih pintar Umi.” Nisa merajuk.
“ Janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai oorang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” Umi membacakan terjemahan Qur’an surat Lukman ayat 18.
Nisa langsung menunduk. Dia merasa bersalah. “Maafkan Nisa, Umi, Maryam, dan Kak Ahmad.”
Umi mengangguk. “Pokoknya, Umi sayang kalian semua. Kalian mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Yang penting, terus belajar. Bagian yang kurang diperbaiki. Ummi berdoa agar kalian menjadi anak saleh.”
“Tahu bukan bagaimana ciri anak saleh?”
“Insyaallah tahu, Umi. Di antaranya rajin ibadah dan patuh pada orang tua,” kata Kak Ahmad.
“Satu lagi, selalu rukun dengan saudara,” kata Umi. “Yuk, kita makan kuenya. Bismillahirrahmanirrahiim … “