[Cerpen] Lila Mau Jadi Koki

Lila Menunggu Hari Besar

Lila berdiri di depan kalender yang tergantung di dinding ruang tamu. Agak berjinjit, dia membaca nama bulan yang ada di lembar paling depan.

“November/Rabiulakhir,” kata Lila lirih.

Lila kemudian membuka satu lembar yang tersisa, mencari tulisan Iduladha. Sayangnya, di lembar itu, dia tidak menemukan kata tersebut.

Gadis lincah itu berjalan menuju sofa, lalu duduk di sana. Dia sebetulnya cuma kangen masakan Uti, neneknya yang jago memasak. Saat libur Iduladha nanti, dia ingin berlibur ke rumah Uti dan belajar memasak di sana.

Lila menghitung bulan, “Jumadilawal, Jumadilakhir, Rajab, Syakban, Ramadan, Syawal, Zulkaidah, Zulhijah.”

Hari besar yang ditunggu-tunggu baru akan datang delapan bulan lagi.

Masa, sih, harus menunggu sampai tahun depan?  Aku harus cari alasan agar boleh belajar memasak sekarang.  Dia berkata dalam hati.

[Kisah] Hindun Binti Utbah

 

Belajar Jadi Koki, Belajar Bersabar

Lila sebetulnya sudah tidak sabar untuk mencoba banyak resep masakan bersama mamahnya. Namun, dia belum diizinkan belajar memasak lagi.

Kata mamahnya, dia terlalu lincah dan banyak bergerak walaupun sedang di dapur. Saat berbicara, tangannya juga bergerak seperti ikut berbicara. Beberapa kali menemani mamahnya memasak, dia tidak sadar menyenggol piring hingga jatuh dan pecah. Dia juga pernah menumpahkan adonan bakwan karena membawanya sambil memutar badan.

“Mulai sekarang, Lila belajar lebih kalem ketika di dapur. Setelah itu, Lila boleh belajar memasak lagi bersama Mamah. Oke?” Ucapan mamahnya terdengar seperti sebuah hukuman berat bagi Lila. Gadis kecil itu menunduk sambil mengangguk pelan.

 

Lila adalah gadis kecil berusia sembilan tahun. Meskipun lincah, dia kadang-kadang masih suka menangis, terutama kalau sedang marah. Karena itulah, kakaknya sering meledek.



 

“Lila, tuh, lebih pantas jadi guru olah raga atau guru menari, bukan jadi koki. Mana ada koki masak sambil lari-lari?” Kakaknya menggoda setelah Lila menumpahkan adonan kue.

 

“Lila, kan, cucunya Uti. Lila pasti bisa jadi koki, pintar memasak seperti Uti. Lila akan buktikan!”

 

“Masa, siiih? Jadi koki itu harus anteng dan tidak suka marah-marah sambil menangis, Lila Lala Lila. Seperti Mamah, tuh. Jadi, piringnya tidak pecah melulu. Kalau Lila?”

“Lila tidak sengaja, kok,” jawab Lila dengan ketus.

“Nah! Marah, kan? Sebentar lagi pasti menangis.” Kakaknya masih meledek.

“Biarin!” Lila mulai jengkel. Namun, ia tidak ingin menangis di depan kakaknya.

 

“Ya tidak bisa dibiarin. Masa marah-marah dibiarin.” Kakaknya pura-pura serius menasihati.

 

“Kakak juga. Harusnya diam, bukan malah meledek!” Lila berkata sambil manyun.

 

“Koki, kok, manyun? Entar masakannya enggak enak, lo!”

Lila tidak menjawab. Dia berlari menuju kamarnya.

Pantas…

Di dalam kamar, Lila mengingat-ingat kejadian di dapur. Sejak awal bulan ini, ia sudah memecahkan tiga gelas dan satu piring, sekali menumpahkan adonan kue, dan sekali tersiram air panas.

 

“Pantas saja Mamah cuma mengizinkan aku membantunya sebentar di dapur,” gumam Lila.

 

Lila menyesal sudah merepotkan mamahnya. Kakaknya betul. Kalau ingin jadi koki, dia harus belajar tenang dan tertib saat di dapur. Gadis berponi itu tersenyum geli membayangkan dapurnya berantakan karena bahan masakan tumpah di mana-mana.

 

“Kalau itu terjadi, aku pasti repot. Aku harus membereskan dapur lebih dahulu sebelum mulai memasak. Pelanggan tokoku bisa pergi semua nanti. Sekarang, aku mengerti. Aku mau jadi koki, bukan petugas kebersihan!” Lila berkata dengan mantap. []

 

Editor: Ayu Ningtyas

 

#JoeraganArtikel

#eventcernak

#Day1

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *