[Cerpen] Hadiah dan Tanda Sayang di Hari Ibu

“Hmmm … sebentar lagi hari Ibu. Bagaimana kalau kita beri Ummi hadiah?” Tiba-tiba si bungsu Aifa, mengusulkan ide saat dia dan kakaknya berkumpul di ruang tengah.
“Aku mau kasih hadiah sendiri saja. Uang tabunganku sudah cukup.” Khansa, putri sulung Ummi berkomentar.
“Oke, bagaimana dengan Kak Bani dan Kak Almas?” Aifa memanggil kakaknya satu per satu.

Ummi Ingin Hadiah Apa?

Ummi yang sedang memasak, senyum-senyum mendengar pembicaraan keempat anaknya. Mereka memang suka berkumpul di ruang tengah, sekadar menonton televisi atau memainkan sesuatu bersama, dan bernyanyi.
“Ummi mau apa?” Aifa bertanya pada Ummi.
“Ummi enggak minta apa-apa. Yang penting kalian semua jadi anak saleh dan sayang kepada Ummi. Itu saja cukup.”
“Ih, mintalah sesuatu. Kalau soal sayang, kami semua sayang Ummi.”
“Yes, sayang kami ke Ummi lebih besar dari gunung yang paling tinggi di dunia,” kata Kak Bani.
“Bukan, Kak! Sayang kami lebih tinggi daripada langit yang paling atas,” Kak Almas meralat.
“Lebih dalam dari samudera, lebih luas dari seluruh alam.” Abi tiba-tiba keluar dari kamar dan berbicara. “Kalian ini macam pujangga saja. Sayang itu butuh pembuktian, bukan hanya ucapan.”
“Justru itu, kami ingin membelikan sesuatu untuk Ummi sebagai tanda dan bukti sayang,” kata Kak Almas lagi.
“Makin besar hadiahnya atau makin mahal?” Kak Khansa berpikir sejenak. “Itu berarti rasa sayang yang sangat besar.”
Abi hanya geleng-geleng kepala mendengar penuturan anak-anaknya. Mereka memang hanya berbeda usia 1 sampai 2 tahun, kecuali dengan Aifa yang masih duduk di kelas 2 SD.

Bukti Sayang kepada Ummi

“Bolehkah Ummi minta tolong sesuatu?” Ummi sudah ada di hadapan mereka dengan baju yang basah karena keringat.
“Apa Ummi?” Kak Almas bertanya.
“Ternyata garam Ummi habis, padahal masakannya sedikit lagi selesai.” Ummi terlihat lelah. “Warungnya jauh, tempat Bu Amin sudah tutup selama seminggu.”
Abi mengintip dari balik buku yang sedang dibaca.
“Bagaimana kalau Almas saja? Aku malas sekali, larut malam baru tidur,” Kak Khansa menyuruh adiknya.
“Aku belum mandi. Tugas sekolahku juga masih banyak jelang pembagian rapot. Bagaimana kalau Bani atau Aifa saja? Kan bisa naik sepeda,” ucap Kak Almas mengelak sambil menunjukkan buku yang sejak tadi hanya diletakkan di atas meja.
Kak Bani baru saja mau berbicara, “Oh.. Sudahlah! Ummi saja kalau begitu yang ke warung. Aifa masih kecil, warungnya cukup jauh,” Ummi bergegas masuk kamar untuk berganti baju.
“Tidak usah, Ummi! Aku saja,” kata Bani. “Aku sudah siap kok, tinggal pakai jilbab. Tugasku bisa diselesaikan nanti.”
“Alhamdulillah,” Ummi tersenyum senang.

Sayang Butuh Pembuktian

Abi meletakkan buku dan ikut duduk ruang tengah, saat Kak Bani dari warung.
“ Katanya, sayang Ummi,” Abi menggoda anak-anaknya.
“Tentu saja,” jawab anak-anak hampir serentak.
“Itu tadi waktu Ummi minta tolong, nggak ada yang mau. Padahal, lihat Ummi! Beliau sudah lelah masak sejak dua jam lalu. Belum pekerjaan lain di pagi hari.”
“Kami sudah membantu: menyapu, mengepel, menyiram tanaman, dan lain-lain, “ Kak Khansa membela diri.
“Apakah setiap hari? Bagaimana dengan mencuci, menyetrika, dan pekerjaan lainnya?”
Anak-anak terdiam.
“Itu yang tadi Abi katakan, sayang butuh pembuktian. Sayang kepada Ummi dibuktikan dengan menolong saat dibutuhkan, mematuhi perintahnya, tidak bersuara nyaring jika berbicara, dan lain-lain. Tidak lupa juga selalu mendoakan kesehatan dan kebahagiaan Ummi dunia dan akhirat.”
“Oh … begitu,” Aifa berkata sambil menganggukkan kepala. “Apa tidak boleh memberi hadiah?”
“Tentu saja boleh. Namun, tidak harus mahal. Pilihlah yang kira-kira dibutuhkan dan disukai Ummi,” Abi berkata sambil memeluk Aifa yang mendekatinya.
Editor: Purwani Wijayanti

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *