[Cerbung] Empat Petualang Cilik

Bagian 4

“Dan, kamu gelar dong tikarnya,” pinta Alvin saat mereka baru sampai di bukit pagi ini.

“Aku bawa plastik. Kalau harus bawa tikar, susah dan kebesaran, enggak muat dalam tasku,” jawab Danish sambil menggelar plastik putih bekas poster.

“Keluarkan semua mainan, biar enggak ada yang curiga,” Umar bertindak seolah dia adalah pemimpinnya.

“Aku sengaja enggak bawa kotaknya, susah. Jadi, aku cuma bawa petanya aja,” kata Umar sambil mengeluarkan gulungan kertas peta.

Keempat anak laki-laki itu langsung membentuk lingkaran dan semua mata tertuju pada peta yang cukup membingungkan. Galang menyerahkan buku kecil dan pensil pada Umar.

“Kalian ada yang hapal enggak dengan gambar-gambar ini?” tanya Danish sambil mengambil keripik dari tangan Alvin.

“Yang segitiga ini pasti bukit atau gunung,” jawab Umar dengan wajah serius.

“Kalau yang ini seperti gerbang desa sebelah, betul tidak?” Umar balik bertanya.

“Betul, Mar. Kalau yang garis-garis ini apa ya?” Galang berpikir dengan bibir yang dimonyongkan.

“Ini mungkin jembatan yang ada sungai kecil itu, Lang,” jawab Danish dengan wajah senang karena dapat menebak.

[Cerbung] Aku Seorang Petualang

 

Tiba-tiba saja dari bawah bukit terlihat dua orang dewasa berjalan menuju mereka. Dengan cepat Umar menyembunyikan gulungan kertas peta ke dalam saku celananya. Keempat anak tersebut langsung mengerti apa yang harus dilakukan jika ada orang yang datang.

“Hai Adik-adik. Sedang bermain apa?” tanya pria bertubuh besar sambil duduk di dekat Alvin.

“Lagi main aja Om. Om ngapain di bukit ini?” Alvin berusaha menyembunyikan ketakutannya.

“Kalian sering main di sini, rumah kalian dekat ya dari sini?” tanya pria itu lagi.

“Enggak juga Om, tapi rumah kami memang dekat. Tuh, komplek perumahan di bawah bukit ini,” jawab Umar mencoba bersikap tenang.

Sementara itu, pria yang satu lagi terlihat sibuk berkeliling bukit, matanya terlihat mencari sesuatu. Tampangnya begitu serius. Ia melangkah mendekat, lalu duduk dekat Alvin, Danish, Umar, dan Galang. Anak-anak terlihat takut menatap pandangan tajam lelaki bertampang serius. Mereka bergeser duduk saling berdekatan.

“Jangan takut, Dik. Om cuma mau tanya, barangkali kemarin kalian main di sini dan lihat ada kotak kayu kecil, berwarna coklat, dan ada ukiran di atasnya,” ucap pria bertubuh pendek itu.

“Kotak kayu ya, Om. Itu….” Hampir saja Alvin kelepasan bicara, untungnya Umar cepat-cepat memotong ucapannya.

“Itu kita enggak lihat Om. Kemarin kan banyak orang ke sini karena mau lihat helicopter, om harus tanya orang-orang satu komplek perumahan,” jawab Umar sambil tersenyum.

“Betul juga, Bang. Kemarin banyak banget orang disini, bingung kalau gini aku, Bang,” pria bertubuh besar ikutan menjawab.

“Ya, sudah tidak apa-apa kalau kalian tidak melihat kotak itu. Tapi kalau kalian mengetahui ada yang menemukannya, tolong sms om, ya,” pinta pria bertubuh kecil.

“Ini nomor hp om, nanti kalian bisa minta tolong mama dan papa, ok?” kata pria itu lagi.

“Iya, om,” keempat anak laki-laki itu menjawab serentak.

“Kalian teruskan bermainnya,” pria bertubuh kecil itu berkata sambil pergi bersama temannya.



 

Setelah kedua pria dewasa itu tak terlihat lagi, Umar dan teman-temannya bisa bernafas lega. Mereka berusaha setenang mungkin sesuai kesepakatan saat berada di kamar Danish kemarin. Keempatnya saling memandang dan mengambil minum untuk menghilangkan rasa takutnya.

“Tuh, kan betul apa yang aku bilang kemarin. Ini pasti peta harta karun,” ujar Danish dengan wajah serius.

“Sekarang kita harus cepat-cepat menyusun rencana untuk menemukan tanda X di peta itu,” kata Danish lagi.

“Hayo cepat keluarkan petanya,” ujar Galang.
Keempat anak laki-laki itu kembali berunding dengan serius mengenai simbol-simbol yang ada di dalam peta. Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang mengamati dari balik pepohonan. Sepasang mata yang tak melepaskan pandangannya sejak awal keempat anak lelaki itu tiba di bukit.
***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *