Tiwi dan Kabar Dedaunan

[Cerbung] Tiwi dan Kabar Dedaunan

“Dulu, aku juga pernah begitu,” tutur Difi seraya mengumpulkan kembali sampah dapur yang berserakan, “setelah Peri Flora memberi tahu, aku baru mengerti.”

Tiwi terdiam dan bingung mengamati Difi yang menggali tanah lalu mengubur sisa sayur dan kulit buah.

“Kata Peri, yang berasal dari tanah sebaiknya dikembalikan ke tanah. Nanti, tanah juga akan kembali memberi hadiah tumbuhnya sayur dan buah yang baru,” tambah Difi.

“Ooh, begitu. Pantas saja di Kota Kurcaci sudah sulit menemukan sayur dan buah dengan bentuk aslinya. Tidak ada lagi lahan tanah untuk bertanam. Semakin banyak makanan instan yang hanya diberi penambah rasa sayur dan buah,” ujar Tiwi sedih.

“Maka dari itu, aku pindah kemari. Yuk, kita cuci tangan, lalu makan,” ajak Difi.

Ketika malam datang, mereka meluangkan waktu berdiam sejenak. Masing-masing sibuk berdoa untuk keselamatan dan kebahagiaan semua makhluk, serta tidak lupa mengucap terima kasih pada pemilik semesta.

“Aku istirahat duluan, ya, Tiwi. Kepalaku agak pusing. Sepertinya, ada tanda-tanda yang kurang baik,” ucap Difi.

Sebenarnya Tiwi ingin tahu tanda kurang baik apa yang dimaksud Difi. Belum sempat Tiwi bertanya, Difi sudah memejamkan mata.

Mungkin Difi masih lelah, pikir Tiwi

Tiwi dan Kabar Dedaunan

Tidak lama kemudian hidungnya mencium sesuatu. Eh, bau apa ini?

Tiwi mengikuti arah angin yang membawa aroma tersebut hingga berhenti pada sebuah pohon kecil di halaman. Matanya tertuju pada cahaya yang berkelip di atas daun.

“Hai, Tiwi. Aku Peri Flora,” sapa suara dari cahaya itu.

Tiwi terkejut dan sedikit takut. Setelah merasa dicubit Dewa Bukit, Tiwi mengira ia akan ditegur Peri Flora juga atas perbuatannya tadi sore.

“Lihatlah dedaunan ini. Pertanda kurang baik datang lagi. Semoga kau bisa menyelamatkan kami,” pinta Peri.

“A … apa yang bisa kubantu?”

Namun, Peri Flora bergegas pergi. Tiwi semakin mendekat pada daun-daun di pohon tersebut. Terdengar suara yang berbisik ramai di telinganya. “Selamatkan kami! Selamatkan kami!”

Tiwi mengamati permukaan setiap daun. Mereka tidak memiliki mata dan mulut. Namun, ada hal aneh yang terlihat jelas. Penampilan daun di pohon kesayangan Difi ini sedikit kuning kecoklatan, tidak seperti terakhir kali dilihat Tiwi. Kemarin, masih terlihat hijau dan segar.

“Mengapa kalian cepat sekali layu dan tertutup pasir-pasir halus ini? Bukankah tadi pagi Difi masih menyirami kalian?” tanya Tiwi.

“Hujan asam! Hujan asam!” sahut mereka lagi.

“Hah? Di mana ada hujan? Apa itu hujan asam?”

(bersambung)

 

 

Editor : Ira Mutiara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *