Rumah Lucu Pak Mamat (1)

Rumah Lucu Pak Mamat (1)
Oleh : Ruvianty
Editor: Nonz Ati

Jalan Makmur termasuk lingkungan asri dengan warganya yang bersahabat. Ada sahabat-sahabat kita tinggal di jalan Makmur ini. Tuh, mereka sedang berjalan menuju balai RW. Sahabat-sahabat kita dari jalan Makmur ini memang sering bermain bersama di balai RW. Tempat ini sebetulnya biasa digunakan pengurus RW dan warga untuk melakukan pertemuan. Nah, pada siang hari balai ini menjadi tempat yang nyaman untuk anak-anak berkumpul.

“Dod, aku, kok, belum lihat Pak Mamat lewat, ya, hari ini!” cetus Yoga yang celingukan dari tempatnya duduk.
“Kenapa kamu cari Pak Mamat siang-siang?” tanya Firman yang baru saja membuka kantong keripik pemberian ibunya Yoga.
“Dia, kan, tugasnya malam!” jawab Dodi.
“Emangnya petugas keamanan enggak boleh keluar siang-siang, ya?” Luky nimbrung.

Celetukan Luky memancing tawa teman-temannya. Yoga melempar Luky dengan bantal kursi yang terserak di balai itu. Seketika terjadi perang bantal disertai tawa ramai empat sahabat kita.
“Hei, kalian! Jangan ngeberantakin balai, dong! Main boleh, tapi jaga tempat ini tetap rapi!” tegur seorang bapak yang melintas balai RW saat itu.
“Pak Mamaaat!” seru keempat anak laki-laki itu bersamaan.
Iya, betul, memang dialah Pak Mamat yang dicari Yoga. Seorang bapak yang berperawakan sedang, wajahnya selalu segar dengan senyuman ramah, dengan pakaiannya yang sederhana. Dia salah satu petugas keamanan di jalan Makmur. Namun hanya beberapa orang yang tahu pekerjaannya di siang hari.

“Pak Mamat, dicari Yoga tadi, tuh!” usil Luky berharap Yoga ketakutan.
“Ada apa cari Bapak, Yoga?”
“Hehehe… boleh kita main ke rumah Bapak?” tanya Yoga serius.
“Boleh, tapi jangan sekarang, ya! Bapak harus beres-beres barang dulu!”
“Kita sekalian bantu beres-beres aja, Pak!” ujar Dodi yang langsung diiyakan oleh tiga temannya.

Akhirnya Pak Mamat mengajak mereka ke rumahnya siang itu. Sebelumnya, keempat sahabat kita membereskan bantal-bantal dan tikar di balai RW hingga rapi. Mereka mengikuti Pak Mamat berjalan menuju belakang balai RW. Jalanan sempit yang diapit kebun singkong itu menuju sungai Ciherang. Sungai kecil itu mengalir di bagian barat jalan Makmur.

Di pinggir sungai Ciherang, banyak bangunan tidak permanen berjajar hingga menutupi pemandangan ke sungai Ciherang. Bangunan sangat sederhana itu terbuat dari kayu-kayu sisa bangunan, potongan tripleks, beratap aluminium bahkan ada yang beratap plastik. Rumah Pak Mamat ada di antara bangunan-bangunan itu. Dodi tahu yang mana rumah Pak Mamat karena dia sering di suruh ayahnya memanggil Pak Mamat.

Perbedaan rumah Pak Mamat dengan yang lain adalah dari warna catnya. Jika bangunan sangat sederhana yang lain hanya dilabur putih atau tidak dicat sama sekali, rumah Pak Mamat penuh warna. Sebetulnya bangunan itu tidak bisa disebut rumah, karena hanya ada satu ruangan sempit.

“Tuh, lihat pekarangan rumah pak Mamat ini masih berantakan. Bapak belum sempat memilah barang-barang ini!” ujar Pak Mamat sambil mempersilakan sahabat-sahabat kita duduk di kotak-kotak bekas peti buah. Mereka bisa melihat sampah botol plastik, saset kopi, kantong sabun cair, kantong minyak goreng dan bermacam sampah plastik lain, berserakan di pekarangan sempit rumah Pak Mamat.
(bersambung)

#JoeraganArtikel
#eventcernak
#day3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *